Senin, 24 Oktober 2016

Perawat dan Sirkumsisi/Sunat/Supit/Khitan

Apakah Perawat Boleh Menyunat/Khitan/Sirkumsisi? Cari Jawabannya Disini…!!!

Kita akan uji satu persatu pertanyaan diatas dan silahkan sejawat menjawabnya:
  1. Apakah di kurikulum pendidikan Keperawatan ada dipelajari terkait Sirkumsisi?
  2. Apakah materi terksit sirkumsisi dimasukkan kedalam bahan ujian?
  3. Apakah Perawat melakukan sirkumsisi?
  4. Apakah ada SOP Perawat melakukannya?
Kalau saya yang ditanyakan tentang hal ini, maka saya akan menjawab, hanya point ke-3 saja yang ada. Saya tidak bisa pastikan apakah di institusi pendidikan lain dipelajari dan diujikan atau tidak dan di fasilitas pelayanan lain dibuat SOP nya untuk Perawat melakukannya atau tidak. Sampai kepada ke-4 point ini mungkin kita akan sepakati untuk mengatakan bahwa Sirkumsisi bukan merupakan kompetensi Perawat.
Selanjutnya, kita akan menilik kepada faktor kebutuhan masyarakat.
Kalau kita melihat penyebaran dokter yang belum merata serta pendapatan per kapita kita yang masih rendah, maka kehadiran Perawat untuk melakukan sirkumsisi masih sangat diperlukan. Kalau kita kedaera-daerah pedalaman, maka akan sangat jarang kita temukan dokter berpraktik disana, yang mayorita disana hanya Perawat maupun Bidan. Sehingga, akses kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat adalah Perawat.
Dari sisi perekonomian masyarakat yang banyak masih dibawah kata sejahtera, maka tak heran kalau masyarakat akan memilih pelayanan dengan tarif paling murah. Kalau ke Perawat, dengan kurang dari Rp. 500.000,- sudah bisa di khitan. Kalau ke Dokter, minimal Rp.800.000,0 baru bias di khitan.
Dengan keberadaan dokter tadi yang tidak dekat dengan letak geografis mereka, maka ongkos untuk ke layanan dokter juga akan menambah kos yang harus mereka keluarkan untuk itu. Belum lagi kalau terjadi perdarahan seketika sebagai dampak dari pembedahan maka yang paling mudah ditemui adalah Perawat.
Itu ketika kita berbicara Khitan secara konvensional berupa bedah minor selayaknya yang didapatkan masyarakat selama ini. Namun, saat ini sudah banyak tekhnik khitan yang kita kenal. Diantaranya pemotongan kulup menggunakan electric couter yang dikenal masyarakat umum dengan sunat laser atau menggunakan clamp yang dikenal dengan sunat cincin. Apakah ini termasuk kedalam pembedahan?
Sayang nya, ini semua tidak dimasukkan kedalam kurikulum pembelajaran di institusi pendidikan keperawatan. Sehingga untuk menjadikan khitan sebagai salah satu kompetensi Perawat masih sulit. Karena khitan bukanlah hal bisa digolongkan gawat darurat, maka kalau kita menilik kepada UUK, tidak ada tersirat kata maupun kalimat yang mewakili hal itu.
Kompetensi ini bisa diberikan pula kepada Perawat kalau memang ada ketetapan pemerintah baik Pusat/Menteri maupun daerah terkait hal ini. Minimal aturan yang menjelaskan bahwa Perawat boleh melakukan khitan dengan dilandasi kebutuhan masyarakat. Atau Perawat boleh melakukan khitan dengan kriteria tertentu, semisal alasan geografis, ekonomi maupun atas pemintaan masyarakat itu sendiri. Yang mana ini semua harus dibuktikan secara tertulis oleh Perawat melalui penyataan masyarakat terkait kesediaannya di khitan oleh Perawat.
Perawat harus mempersiapkan landasan hukumnya agar kebutuhan masyarakat Indonesia yang mayoritas adalah Muslim terkait salah satu sunnah Rasulnya, yaitu berkhitan dapat terpenuhi. Selain faktor tersbut, meningkatnya kesadaran masyarakat akan kesehatan juga semakin menambah kebutuhan akan orang-orang yang memamng diberikan kompetensi dan wewenang untuk melalukan itu.
Sebagai tambahan pengetahuan bagi kita, berikut akan saya sertakan beberapa referesnsi terkait hal itu baik yang keluarkan oleh ICN (International Council of Nurses) maupun referensi lain yang bisa kita jadikan bahan bacaan dan rujukan agar Perawat bisa berargumen terkait pekerjaan rutinnya yang disebut khitan/sunat/sirkumsisi.

Sumber : http://inursecare.com/2016/10/21/apakah-perawat-boleh-menyunatkhitansirkumsisi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

http://www.twitter.com/agusetyawan91